Surabaya-beritainfrastruktur.com Pemilihan calon Dekan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS) kembali menjadi sorotan tajam, usai mencuatnya kabar bahwa hanya satu nama, Pratiwi Dwi Karjati, yang maju sebagai calon tunggal dalam proses seleksi pemilihan Dekan *FEB* periode mendatang.
Keputusan ini menuai kritik tajam dari sejumlah pihak, terutama dari kalangan dosen dan anggota senat di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), karena dinilai tidak sesuai dengan aturan dasar yayasan yang mengharuskan minimal dua calon yang dipresentasikan dalam tahap akhir seleksi.
Menurut sumber dari internal Fakultas, jika jumlah calon yang memenuhi syarat tidak mencukupi, seharusnya senat mengadakan rapat khusus untuk mengevaluasi dan menentukan kebijakan lanjutan berdasarkan situasi aktual. Sebuah mekanisme demokratis yang dijamin dalam tata kelola perguruan tinggi. Namun, dalam kasus ini, Dekan FEB yang sekaligus menjabat sebagai pimpinan senat fakultas, justru tidak menjalankan mekanisme tersebut.
Lebih lanjut, nama Pratiwi Dwi Karjati bukanlah sosok baru di jajaran pimpinan kampus. Dosen-dosen FEB menyebut bahwa ia telah menjabat berkali-kali selama berkarier di UWKS, termasuk saat ini yang masih aktif sebagai Wakil Rektor II. Meski demikian, pencalonannya kembali justru memicu pertanyaan serius: Apakah ini bentuk ambisi pribadi yang tak mengenal batas?
Kritik semakin menguat karena Pratiwi diketahui belum bergelar Doktor (S3)UU No. 12/2012 Pasal 19 ayat 3 — syarat bagi pengajar S2 adalah bergelar Doktor, dimana Dekan bergelar Doktor juga diharapkan yang bertanda tangan Ijazah bagi Fakultas yang memilik Program Magister adalah bergelar Doktor.seperti di banyak perguruan tinggi, termasuk UWKS. Lebih dari itu, usia pensiunnya hanya tinggal empat tahun, sehingga muncul kekhawatiran, jika dalam perjalanannya nanti terjadi penurunan kinerja atau kegagalan program, ia tidak lagi dapat dimintai pertanggungjawaban karena telah purna tugas.
Situasi ini mencerminkan potensi pelanggaran prinsip-prinsip akuntabilitas, meritokrasi, dan keterbukaan yang selama ini digaungkan dalam dunia akademik. Proses pemilihan Dekan seharusnya menjadi ruang pembelajaran demokratis, bukan forum formalitas untuk melanggengkan kekuasaan lama.
Kampus seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga integritas dan etika. Jika pemimpin kampus dipilih dengan cara-cara kompromis yang menabrak aturan, maka kita patut bertanya: apa yang sedang dicontohkan kepada mahasiswanya dan civitas akademika?
(Bersambung)
0 Komentar